Selasa, 14 Oktober 2008

tugas pengantar pendidikan

Kecendrungan global dimana tatanan dunia begitu menjadi terbuka dan transparan seolah dunia tanpa batas, borderless world, telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan, yang membuat setiap bangsa menjadi bagian dari system nilai dunia.

Untuk itu, Bangsa Indonesia agar tetap eksis mampu bersaing secara global dan dapat diperhitungkan dalam percaturan ASEAN, Asia Pasific dan internasional harus memiliki keunggulan dalam berbagai aspek. Terutama kuncinya adalah pada tersedianya kualitas Sumberdaya Manusia yang bermutu, mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia dan mampu beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia yang semakin cepat.

Dalam kaitan dengan pembangunan sumber daya manusia yang bermutu dan mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia, maka jelas peran perguruan tinggi sangatlah besar dan penting. Perguruan tinggi di Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan visi dan misi yang harus menyentuh aspek ideology, ekonomi, sosiologi dan aspek teknologi. Juga harus mampu menjadi teladan agar masyarakat menjadi santun dan sadar untuk hidup demokratis serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi aktif dalam memasuki budaya masyarakat industri di era globalisasi.

Dengan visi dan misi perguruan tinggi tersebut di atas, maka strategi pembangunan perguruan tinggi harus berorientasi pada pertumbuhan tenaga kerja yang berkualitas, sehingga mampu bersaing di era pasar bebas AFTA yang sudah bergulir sejak 2003, APEC tahun 2020, serta masyarakat Ekonomi Eropa dan kekuatan ekonomi internasional lainnya.

Tantangan dan Permasalahan Perguruan Tinggi di Indonesia

Saat ini tuntutan masyarakat dan pembangunan terhadap perguruan tinggi di Indonesia adalah peningkatan kualitas lulusan yang harus siap bersaing secara kompetitif untuk menghadapi pasar bebas AFTA, APEC dan Global.

Berkenaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin meningkatnya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia industri, tuntutan profesionalisme penyelenggaraan pendidikan tinggi semakin meningkat. Dunia industri akan menuntut keterjaminan kualitas lulusan perguruan tinggi yang masuk ke pasar kerja. Konsekuensinya adalah mutu lulusan sebagai outcome dari proses pendidikan secara sistematik harus disiapkan melalui proses dan masukan yang bermutu. Hal ini membutuhkan investasi yang besar dan waktu yang panjang bagi pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya fasilitas di perguruan tinggi.

Beberapa persoalan lain yaitu perkembangan ekonomi nasional yang belum menggembirakan, menurunnya kemampuan pemerintah dalam penganggaraan dan pendanaan untuk pendidikan , mekanisme pendanaan yang berbasis kompetisi, mengharuskan perguruan tinggi menggali sumber dana lain di luar anggaran pemerintah. Salah satu caranya adalah dengan upaya menjalin kemitraan dengan dunia industri, sehingga terjadi sinergi antara dua kekuatan yang memiliki dana dan fasilitas dengan yang memiliki ide/gagasan.

Pentingnya Membangun Kemitraan

Guna menghadapi tantangan dan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, kerjasama kemitraan perguruan tinggi dengan badan usaha/dunia industri harus terus dikembangkan dalam berbagai bentuk serta manfaat bagi kedua belah pihak.
Hal ini sejalan sebagai tindak lanjut implementasi Undang-Undang Republik Indonesia no 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Imu Pengetahuan dan Teknologi.
Perguruan tinggi dan dunia industri/badan usaha merupakan unsure-unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berfungsi mengorganisasikan pembentukan sumberdaya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi. Juga berfungsi untuk membentuk iklim serta memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.Secara khusus perguruan tinggi berfungsi membentuk sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan badan usaha/dunia industri berfungsi menumbuhkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis, serta bertanggung jawab untuk mengusahakan dan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan litbang.Supaya kemitraan antara perguruan tinggi dan dunia industri terjalin dengan baik, maka harus dirasakan adanya keperluan oleh kedua belah pihak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tujuan (objective) masing-masing unsur sebagai berikut ;
Dunia industri untuk mengembangkan usaha dan mempertahankan eksistensi dalam jangka panjang ( sustainable long term and improved growth ).
Perguruan tinggi sesuai dengan fungsinya untuk mengembangkan ilmu dan pendidikan tinggi melalui aktifitas tridharma perguruan tinggi

Bentuk Kerjasama Kemitraan
Beberapa bentuk kerjasama kemitraan antara dunia industri dan perguruan tinggi yang dapat dikembangkan antara lain

Kemitkeadaan dalam Pendidikan dan Pelatihan
Kegiatan ini meliputi penyelenggaraan training course baik yang bersifat teknis maupun manajerial.

1.2. Kemitraan dalam konsultasi permasalahan teknis

Kegiatan ini dalam bentuk pemberian konsultasi untuk problem solving permasalahan teknis yang berkembang di industri dengan melibatkan SDM perguruan tinggi sesuai dengan keahlian dan kompetensi yang dimiliki, seperti, feasibility study, perbaikan proses pabrik dan sebagainya.

1.3. Kemitraan dalam pengembangan usaha patungan

Dalam kerjasama ini perguruan tinggi dapat menyumbangkan sumberdaya berupa kepakaran ( expert resources), sumberdaya teknologi ( teknologi resources), serta sumber daya fisik berupa fasilitas fisik seperti gedung, tanah, laboratorium, bahkan merek dan sebagainya, dan perguruan tinggi mendapatkan bagian keuntungan dalam kegiatan usaha ini.


1.4. Kemitraan dalam Penelitian

Kerjasama ini meliputi kegiatan penelitian untuk pengembangan teknologi maupun produk baru.

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MORAL
Oleh: Khaerudin Kurniawan

Pendidikan moral berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia
Indonesia yang utuh. Pembinaan moral sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari pendidikan agama dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal
pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks), serta arus
reformasi sekarang ini, pembinaan moral semakin dirasa penting sebagai
salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional
secara utuh.

Sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang
menunjukkan bahwa mereka mengabaikan moral dalam tata krama pergaulan, yang
sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society).
Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja
sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan,
pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat
ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang
menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.

Senada dengan hal-hal tersebutkan, gurubesar filsafat UI, Prof. Dr.
Soerjanto Poespowardojo menyatakan, bangsa Indonesia saat ini benar-benar
sedang menghadapi dekadensi budaya dan dekadensi moral (Kompas, 2/12/1998).
Nilai-nilai budaya Indonesia yang dipupuk dalam tradisi dan sejarah
pergerakan nasional itu, tersapu begitu saja oleh rezim Orde Baru, karena
nafsu dan keserakahan pada kekuasaan, kekayaan, kedudukan, jabatan dan
kehormatan.

Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai
yang dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini
bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan,
ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan
kedudukan nilai itu, hidup dan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan,
bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman.

Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang
tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan
manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Moral dan nilai-nilai
moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan
pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan,
perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain.

Problematika

Salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21
adalah moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda
masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman
nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan moral yang berlangsung
di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.

Sekolah bukanlah tempat yang paling utama sebagai sarana transfer
nilai-nilai moral. Apa lagi pendidikan moral di sekolah baru menyentuh
aspek-aspek kognitif, belum menyentuh aspek edukasi dan implementasi.
Tidaklah heran manakala beberapa pengamat sosial menyatakan bahwa kunci
keberhasilan pendidikan moral terletak pada peran keluarga dan masyarakat
sekitar.

Perkembangan pesat ipteks dewasa ini ada kecenderungan positif di masa
depan yang tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di
negara-negara berkembang dan negara-negara miskin termasuk Indonesia.
Perkembangan ini tampaknya belum sepenuhnya diimbangi dengan perkembangan
nilai-nilai moral, sehingga hal ini memungkinkan terjadi kesenjangan yang
berarti.

Salah satu konsekuensinya adalah problem-problem sosial yang hingga kini
belum terpecahkan. Beberapa problem sosial yang belum dapat dijawab secara
tuntas adalah masih cukup banyak warga masyarakat kita yang belum memiliki
integritas pribadi, kesadaran religius, karya yang berkualitas kompetitif
dan kepekaan sosial yang rendah.

Bila ditinjau lebih jauh lagi, kondisi sosial masyarakat kita sekarang yang
kurang menguntungkan terutama untuk menatap masa depan bangsa akibat
penurunan idealisme di kalangan sebagian besar masyarakat serta sistem
pendidikan dan pembinaan moral yang kurang efektif. Selain itu,
faktor-faktor lain yang tidak dapat diabaikan.

Masyarakat yang kurang produktif tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi
juga orang lain bahkan bangsa secara keseluruhan. Demikian juga tidak hanya
kurang menguntungkan untuk masa sekarang tetapi juga untuk masa depan.
Banyak alternatif yang dapat dipilih dan memiliki sumbangan yang sangat
berarti bagi pembentukan kepribadian masyarakat yang bermoral, mandiri,
juga dalam pembinaan. Salah satu alternatif yang memiliki efektivitas yang
tinggi adalah pendidikan moral.

Kepribadian

Kita menyadari bahwa masyarakat yang berkepribadian mantap merupakan aset
yang sangat berharga bagi masa depan bangsa memasuki abad ke-21. Sebab,
kondisi ini setidaknya memiliki banyak implikasi baik bagi kehidupan diri
sendiri di kemudian hari maupun bagi orang lain.

Sedang beberapa indikator yang paling diharapkan menggambarkan masyarakat
yang berkepribadian adalah bertakwa kepada Tuhan, bertanggung jawab,
kritis, kreatif, inovatif, terbuka, progresif, sederhana, disiplin, arif
bijaksana, bekerja keras, mandiri, berwawasan masa depan, berwawasan
humanisme (kemanusiaan) dan berwawasan lingkungan serta memiliki kepedulian
soal yang tinggi.

Dengan kata lain, anggota masyarakat sebagai manusia yang utuh diharapkan
tidak menunjukkan perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, konsumtif,
bergantung pada orang lain, merusak lingkungan (destruktif) dan sebagainya.

Untuk dapat meraih kepribadian yang mantap sekaligus manusia yang utuh dan
menjaga eksistensi masyarakat yang lebih fungsional, pendidikan moral
seyogianya diorientasikan pada pembentukan masyarakat yang bertakwa,
mandiri, kepedulian sosial, berwawasan masa depan dan lingkungan.

Kita menyadari bahwa manusia lahir ke dunia ini atas kehendak Tuhan. Hidup
sepanjang waktu di dunia ini atas perlindunganNya, yang akhirnya manusia
kembali ke hadapan-Nya. Dengan kata lain, manusia sepertinya milik Tuhan.
Sebagai sikap yang bijak, selama hayat masih dikandung badan, setiap insan
(manusia) wajib tunduk, taat dan mengabdi kepada-Nya.

Ketundukan manusia kepada Tuhannya merupakan kebutuhan yang esensial dalam
satu kehidupan dan bukan suatu kebutuhan alternatif, apa lagi dianggap
sebagai beban. Bahkan, kebutuhan ini bersifat individual dan dalam batas
tertentu bersifat kolektif. Dengan demikian, hendaknya setiap individu
selalu berupaya mengembangkan dan meningkatkan ketakwaan sebagai realisasi
pembinaan hubungan dengan Tuhan.

Hubungan dengan Tuhan yang selalu dipelihara dengan baik, selalu diiringi
dengan perbuatan yang baik sebagai ungkapan mengingat kepada-Nya, sehingga
menjadikan diri kita selalu menjadi tenang. Manusia yang sanggup melakukan
tindakan ini dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, hatinya jadi tenang, tidak
gampang diseret oleh kemauan setan yang terkutuk, termasuk melakukan
penyimpangan perilaku seksual, kerusuhan, pembantaian, dan lain-lain.

Sebaliknya, sekiranya manusia itu lupa kepada Tuhan, tinggal tunggu
akibatnya. Orang yang lupa kepada Tuhan baik disengaja atau tidak, akan
berbuah dengan kejahatan yang kemungkinan juga menjatuhkan martabat
manusia. Untuk itu, kita perlu terus berupaya menghindari lupa kepada Tuhan
dan memperbanyak ingat kepada-Nya, kapan saja, di mana saja dan dalam
keadaan bagaimana pun.

Begitu penting persoalan ketundukan kepada Tuhan ini, dirasakan perlu ada
upaya yang sistematis dan terarah serta bertanggung jawab. Upaya yang
dimaksud adalah pendidikan moral. Walaupun dalam batas-batas tertentu
pendidikan yang lain juga memberikan kontribusi dalam membentuk ketakwaan
manusia.

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial diharapkan mampu menjadikan
dirinya sebagai subjek, bukan objek; produktif bukan konsumtif; kreatif
bukan kompromis; dan berani bukan penakut.
Tentu saja beberapa aspek tersebut lebih efektif lagi sekiranya terbangun
dalam diri pribadi bersama-sama secara fungsional. Bila demikian, ia dapat
terhindar dari rasa ketergantungan (dependence) pada pihak lain yang tidak
perlu dan harus terjadi.

Disadari pula bahwa seseorang dalam kondisi apa pun lebih bermakna,
sekiranya semua perilaku yang muncul dari dirinya searah dengan pribadinya
(self-nya). Dengan kata lain, setiap perilaku seyogianya dilandasi komitmen
diri yang teguh, sehingga terhindari dari sikap hipokret (munafik). Dengan
demikian, setiap perilaku lebih mudah untuk dipertanggungjawabkan. Dalam
hal ini pendidikan moral diharapkan mampu mengantarkan masyarakat menjadi
individu yang sanggup mandiri serta siap mempertanggungjawabkan dirinya di
hadapan Tuhan, serta menjadikan individu yang lebih bermartabat (produktif,
kreatif dan inovatif).

Sekalipun memang benar bahwa sekolah "bukanlah tempat yang paling utama
sebagai sarana transfer nilai-nilai moral", namun cukup banyak waktu anak
dilewatkan di sekolah bersama teman-teman dan gurunya. Bagaimanakah hal itu
dapat dimanfaatkan untuk 'pendidikan moral', bukan 'pengajaran moral'?

Tidak ada komentar: